Kamis, 07 Juni 2012

[FANFICTION] We Met because of Fate (Part 1 - start)


Main Cast:
- Dongho 'U-KISS'
- Ann J 'C-REAL'

***
 
            Ann J menatap keadaan di sekelilingnya. Sore hari seperti ini Daejoon Park ramai dikunjungi. Sebagian besar yang berada di sana adalah para pekerja yang melepaskan penat mereka sepulang dari tempat kerja mereka. Ibu-ibu juga banyak. Ada yang bergerombol sambil bergosip, ada juga yang menemani anaknya bermain.
            Tiba-tiba saja Ann J menghela napas panjang, lalu menatap langit yang sedang cerah. Saat-saat seperti inilah yang diinginkannya. Tenang. Menyendiri. Terbebas dari jadwal latihan dance yang ketat. Terbebas dari pengawasan manager yang sangat berlebihan mengatur jadwal-jadwalnya. Seharusnya ini menjadi sangat menyenangkan. Tapi, kenapa aku merasa kesepian? batinnya.
            Ann J mencari nomor Chemi di kontak Samsung-nya dan segera menekan tombol call setelah menemukannya. Terdengar ringback tone Baby Baby yang dinyanyikan Girls’ Generation sebagai ganti nada tunggu. Tak lama menunggu, telepon tersambung. “Ada apa?” tanya Chemi singkat.
            “Temani aku, Eonnie1…” pinta Ann J manja dengan suara memelas. “Aku di taman sendirian. Membosankan!” adunya seperti seorang anak yang sedang mengadu pada ibunya.
            “Lho? Biasanya juga sendiri kan? Dan kau tidak pernah memintaku atau yang lainnya untuk ikut serta bersamamu saat free day-mu. Kenapa baru sekarang kau merasa bosan?”
            Ann J menggeleng pelan seakan-akan Chemi ada di hadapannya. “Tidak tahu. Hari ini terasa beda, Eonnie,” jawabnya. “Bisakah Eonnie menemaniku? Ajak Redee Eonnie, Effie Eonnie, dan Lenny juga.”
            Terdengar Chemi meringis di seberang sana. “Maaf, Ann J… kami berempat dan Jungwoon Oppa2 sedang dalam perjalanan menuju Han Restaurant. Kau juga tahu kan salah satu jadwal kita yang satu itu?” jawab Chemi sambil menyebutkan nama manager mereka.
            “Ya. Aku sendiri yang menolak ikut bersama kalian.”
            “Tapi, kau bisa menyusul kami kalau kau benar-benar membutuhkan kami. Acara makan-makannya mungkin agak lama karena sekalian membicarakan debut kita dengan Pak Baekjung, direktur agensi kita.”
            Ann J terdiam, lalu dia kembali menggeleng. “Aku makan malam di dorm saja,” putusnya kemudian dengan suara yang dibuat terdengar senormal mungkin.
            “Tidak apa-apa?” tanya Chemi dengan nada cemas dan ragu.
            “Ya. Tenang saja, Eonnie! Aku akan baik-baik saja,” Ann J meyakinkan.
            “Baiklah. Jaga dirimu, Ann J! Maaf ya tidak bisa menemanimu saat ini…”
            “Tidak apa-apa, Eonnie! Salam untuk yang lain…”
            Klik!
            Telepon diputuskan oleh Ann J dan dia kembali menatap langit sore yang mulai berganti warna.

***

            Dongho menendang kardus minuman yang tergeletak begitu saja di jalanan. Kesal sekali hatinya saat ini. Para hyung3-nya sedang beraktifitas dengan job masing-masing, sedangkan hari ini adalah free day-nya. Seharusnya hari ini dia senang dengan bebasnya dia dari jadwal kerjanya yang padat. Tapi, aku tidak suka melewati free day-ku sendirian! batinnya.
            Tanpa disadari, dia sudah berada di gerbang masuk Daejoon Park. Hari sudah sangat sore dan taman itu tampak sepi karena ditinggali pengunjungnya yang pulang ke rumah masing-masing.
            Matanya tidak sengaja terhenti pada seorang gadis yang tampaknya sedang asik menatap langit sore dari bangku taman, membelakanginya. Perlahan, Dongho berjalan mendekati gadis itu tanpa sepenuhnya paham mengapa dia perlu ke sana.
            Gadis itu menoleh sebentar ke arahnya saat dia sudah duduk di sampingnya, lalu kembali menatap langit. “Mencari ketenangan juga? Atau sedang ingin menyendiri?” tanyanya tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya.
            Dongho sedikit terlonjak mendengar suara gadis itu yang tiba-tiba bertanya. “Berbicara denganku?” tanyanya sekenanya.
            Si gadis tertawa kecil. Kali ini dia menatap Dongho. Senyum mengembang dari bibirnya. “Tentu saja! Hanya tinggal kita berdua yang berada di sini,” jawabnya. “Jadi, jawabanmu?” kejarnya begitu ingat pertanyaannya belum terjawab.
            “Hanya kebetulan lewat,” jawabnya ringan. “Kau?”
            “Bisa dibilang ini ritual setiap sore setiap aku dapat free day,” jawabnya, lalu melirik Gucci yang melingkar di tangannya. “Saatnya makan malam kurasa dan aku harus pergi. Selamat tinggal!”
            “Tunggu!” cegah Dongho begitu si gadis berdiri dan hendak meninggalkannya sendiri. “Bagaimana…” Dia ragu akan keputusannya ini. Tapi, dia akan mencobanya. “Bagaimana kalau kita makan malam bersama?”

***

            Setelah menolak berkali-kali ajakan Dongho untuk makan malam bersama dan diakhiri dengan persetujuan gadis itu, mereka berdua kini sedang makan malam di kedai pinggir jalan yang letaknya tidak terlalu jauh dari Daejoon Park.
            “Kenapa kau mudah sekali mengajakku makan malam bersama?” tanya si gadis penasaran di sela-sela makan. “Kita kan belum pernah bertemu sebelumnya. Kenal juga tidak! Jangan-jangan… kau ini penggoda gadis-gadis yang sedang sendirian ya?!”
            “Uhuk! Uhuk!” Dongho tersedak mendengar tuduhan yang terlontar begitu saja dari si gadis. Penggoda gadis-gadis? Yang benar saja!
            Dengan panik, si gadis menyerahkan segelas air padanya. “Ayo, minum dulu! Pelan-pelan saja…” pintanya sambil terus memperhatikan Dongho dengan cemas. “Maafkan aku! Seharusnya tidak kukatakan tadi kalau tahu kau akan tersedak seperti itu,” akunya merasa bersalah.
            “Tidak apa-apa! Aku baik-baik saja,” jawab Dongho ringan setelah batuknya hilang. “Seorang gadis memang harus punya rasa curiga pada laki-laki yang mengajaknya pergi. Apalagi dengan orang yang tidak dikenal,” lanjutnya. “Tapi, aku bukan penggoda gadis-gadis!”
            “Maaf… lalu, kenapa kau mengajakku makan bersama?”
            Dongho menatap gadis itu sejenak, lalu tersenyum tipis. “Sebenarnya aku juga bingung kenapa bisa seberani ini mengajak orang yang tidak kukenal makan bersama,” jawabnya.
            “Kurasa bukan itu jawabannya.”
            “Kalau begitu, jadi jawabannya apa?”
            “Entahlah. Hanya kau yang tahu bukan? Aku bisa menebak itu dari wajahmu. Tidak bisakah kau menceritakannya? Menceritakan kenapa kau mengajakku makan malam bersama.”
            Dongho menghela napas berat. Kesal juga karena gadis itu terus mendesaknya. Kenapa juga dia bisa tahu kalau aku menyembunyikan jawaban sesungguhnya darinya? Ditatap lagi gadis itu. Kali ini wajahnya tampak serius. Bahkan tidak ada lagi senyumnya yang biasa tersungging. “Kenapa? Kau ingin tahu kenapa?”
            Gadis itu sedikit tersentak menyadari perubahan suara lelaki di hadapannya itu. Apa dia marah hanya karena aku menanyakan hal yang menurutku sah-sah saja untuk ditanyakan ini? Dengan kikuk, si gadis mengangguk.
            “Kenapa juga kau masih harus mempertanyakannya!” seru Dongho tiba-tiba. Suaranya setingkat lebih keras dari sebelumnya. Dan untuk kedua kalinya gadis itu kembali tersentak. “Kau tidak lihat bahwa tidak ada siapapun di kiri-kananku saat menghampirimu di taman tadi? Dan kau menanyakan kenapa aku mau mengajakmu makan malam bersama. Tidak bisakah kau mengerti bahwa hari ini aku sedang sendirian! Dan aku butuh teman…”
            Wajah gadis itu seketika pucat pasi dan tertunduk mendapati sikap Dongho yang tiba-tiba berubah mengerikan baginya.
            Sebenarnya Dongho tidak bermaksud memuntahkan kekesalannya pada kesendirian di free day-nya ke gadis itu. Makanya, setelah menyadari kekeliruannya, dia pun merasa bersalah. “Aku tidak marah atau kesal padamu. Aku hanya marah dan kesal dengan apa yang kurasakan pada hari ini. Dan tanpa kusadari aku sudah terlalu emosi saat menjawab pertanyaanmu tadi. Kuharap, kau jangan salah paham dan jangan membenciku! Sungguh, maafkan aku…”akunya dengan suara yang terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
            Perlahan, wajah gadis itu terangkat kembali. Ditatapnya Dongho sambil tersenyum lemah. Dongho tahu bahwa gadis itu masih takut padanya. Tapi, setidaknya, gadis itu masih mau menatapnya. Bahkan sambil tersenyum. “Tenang saja! Aku baik-baik saja…” katanya pelan, masih tersenyum, sambil menyuap ramennya.
            Keduanya kembali makan dalam diam. Selera makan mereka perlahan menguap, terlihat dari saat mereka mengunyah makanan dengan amat sangat lambat.
            “Kau tahu,” si gadis memecahkan keterdiaman diantara mereka. ”Hari ini pun aku merasakan hal yang sama denganmu. Hanya saja baru kali ini aku merasakannya,” curhatnya sambil mengaduk-aduk ramen-nya. “Dan menurutku, sendirian itu tidak selamanya menyebalkan kok! Tergantung bagaimana kita menaganinya saja.”
            Dongho hanya tersenyum kecut menanggapi kata-kata si gadis itu. “Kau kan baru merasakannya hari ini saja! Kau belum tahu seberapa menyebalkannya sendirian itu sebelum kau merasakan lebih banyak waktu saat sendirian,” katanya sinis.
            “Tidak! Aku yakin dengan apa yang kuucapkan,” elak si gadis mantap dan penuh keyakinan. “Mungkin, selama ini kau sebal saat sendirian karena kau tidak pernah melakukan apapun. Kau hanya merutuk tanpa berusaha lebih.”
            “Tapi, hari ini aku sudah berusaha lebih!” bela Dongho tak mau kalah. “Aku tidak mengurung diri di dorm seperti biasanya. Hari ini aku berjalan-jalan hingga akhirnya aku bertemu dan mengajakmu makan bersama. Jadi, apa maksud kata-katamu tadi?”
            “Jadi, sepanjang kau bersamaku, apakah itu sesuatu yang membuatmu kesal?” Dongho terkesiap mendengar pertanyaan gadis itu, sementara si gadis tersenyum kecil. “Kau sudah menangani kesendirianmu, tahu!”
            Dongho masih terdiam sambil terus menatapi si gadis. “Jadi, kau ini sebenarnya siapa? Peramal?”

***

            “Namaku Dongho dan margaku Shin,” kata Dongho sambil mengulurkan tangannya pada si gadis. Keduanya kini sedang berjalan menuju apartment yang ditinggali si gadis.
            Tanpa ragu, si gadis menjabat tangan Dongho dengan erat. “Jo Yeo Woon,” kata si gadis, lalu melepaskan tangannya. “Tapi, saat aku debut nanti, panggil aku Ann J!”
            “Tidak mau!” tolak Dongho mentah-mentah. “Aku akan memanggilmu Yeowoon, Woonie, atau Nona Jo. Ann J terlalu aneh dan susah diucapkan untukku,” jelasnya yang hanya diangguki kecil Ann J sambil tersenyum kecut. “Berapa umurmu?”
            “Tahun ini aku tujuh belas tahun.”
            “Wah… kalau begitu, panggil aku Dongho Oppa!” perintah Dongho penuh semangat.
            Ann J mengerutkan keningnya. Bingung dengan maksud perintah lelaki yang berjalan di sampingnya itu. “Kenapa aku harus memanggilmu dengan sebutan Oppa?”
            “Tentu saja karena aku lebih tua setahun darimu, Woonie!” jawab Dongho gemas. “Ayo, panggil aku Dongho Oppa!”
            “Kenapa kau ingin sekali kupanggil Oppa?”
            “Karena aku tidak pernah dipanggil Oppa,” jawab Dongho asal. “Sudahlah, tinggal panggil aku Dongho Oppa saja susah sekali!”
            “Baiklah, baiklah…” Ann J mengalah. “Ternyata kau menyebalkan sekali ya kalau sedang bersemangat,  Dongho Oppa!”
            “Terima kasih, Woonie!” seru Dongho bahagia.
            Keduanya diam. Bingung apa lagi yang ingin dibicarakan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
            “Dongho Oppa…” panggil Ann J sambil menghentikan langkahsnya.
            “Ya, Woonie…” Dongho menghentikan langkahnya juga.
            “Kita sudah sampai,” kata Ann J, lalu melirik Gucci-nya. “Sudah jam sebelas. Kurasa, eonnie-eonnie-ku dan Lenny sudah pulang.” Ditatapnya Dongho sambil tersenyum. “Terima kasih, Oppa, karena telah mengantarkanku pulang,” katanya tulus sambil membungkukkan badannya pada Dongho.
            “Dan terima kasih karena telah menemani sisa hariku bersamamu, Woonie,” kata Dongho tulus, juga sambil membungkukkan badannya pada Ann J. “Aku akan ingat kata-katamu jika aku merasa sendirian lagi. Tentang menangani rasa sendirian itu. Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu, Woonie.”
            Ann J hanya tersenyum kecil mendengarnya. “Sebaiknya Oppa cepat pulang. Sudah larut malam,” sarannya.
            Dongho mengangguk sambil membalas senyum Ann J. “Fighting untuk debutmu! Dan semoga kita bisa bertemu lagi ya,” harapnya sebelum pergi.
            “Ya, semoga saja.”
            “Sampai jumpa, Woonie…”
            “Sampai jumpa, Oppa…”
***
-The End-
27.02.2012

Note:
this is my first fanfiction. if u like it, please comment. if u want to re-post it, please have my permission first and take it with full credit. this is mine!!! enjoy reading!! ^__^

[FANFICTION] We Met because of Fate (Part 2)


Main Cast:
- Eli 'U-KISS'
- Effie 'C-REAL'

*** 

            Effie berlari kecil menuju kantor NAP Entertainment, kantor agensinya, untuk latihan dance. Dilirik Gucci-nya dengan panik. Gawat! Telat setengah jam! Gimana nih?! batinnya gelisah. Dipercepat langkahnya dengan sekuat tenaga. Baru saja dia hendak mendorong pintu masuk kantor, seseorang membuka pintu dari dalam. Terlambat bagi Effie untuk menghentikan kakinya yang masih berlari, sehingga dia menabrak orang yang membuka pintu itu dan keduanya tersungkur dan meringis kesakitan.
            “Kau tidak apa-apa?” tanya seseorang yang tadi ditabraknya. Lelaki itu sudah berdiri dan mengulurkan tangannya pada Effie. Tampak jelas di wajahnya kalau lelaki itu sedang menahan kesakitan.
            Effie menyambut uluran tangan itu, lalu dia berdiri dengan bantuan orang yang ditabraknya tadi. Kakinya lemas. Tapi, begitu ingat tujuannya datang ke sini, tak lagi dihiraukan kakinya itu. “Ya, aku baik-baik saja,” jawabnya sambil melepaskan tangannya yang masih dipegang lelaki itu. “Maafkan aku! Aku sedang terburu-buru dan tidak sengaja menabrakmu. Sekali lagi, maafkan aku!” aku Effie sambil membungkuk pada lelaki itu.
            “Ya, tidak apa-apa…”
            Merasa tidak ada lagi yang harus dibicarakan, Effie berniat segera pergi ke tempat latihannya. “Aku harus pergi sekarang juga. Sampai jumpa!’ pamitnya tergesa-gesa. Dia berlari kecil dengan langkah yang terpincang-pincang. Kakinya masih lemas dan sekarang terasa sedikit perih. Dan dia masih tidak mempedulikan itu. Aku pasti akan dihukum atas keterlambatanku!

***

            “Kau terlambat empat puluh lima menit, Nona Lee!” seru Chemi menyambut kedatangan Effie.
            “Maaf… maafkan aku…” kata Effie dengan napas naik-turun. Matanya mengelilingi ruangan. “Mana Rijin Oppa?” tanyanya setelah tidak menemukan pelatih dance mereka.
            “Hari ini Rijin Oppa tidak mengajari kita dance,” jawab Redee. Wajahnya tampak bahagia sekali saat menjawab pertanyaan itu.
            “Dan sepertinya kau bahagia dengan ketidakadaan Rijin Oppa di sini,” canda Effie sambil tersenyum. Dia sudah duduk di lantai ruangan dengan kaki terjulur lurus ke depan.
            “Tidak!” bantah Redee cepat. “Rijin Oppa kan baik pada kita. Bagaimana mungkin aku bahagia? Dan kurasa aku akan merindukannya selama dia tidak ada di sini.”
            “Rijin Oppa mengambil cuti untuk menemani ibunya yang sedang sakit. Sekitar tiga hari. Tadi Jungwoon Oppa yang bilang begitu,” kata Chemi yang diangguki Effie.
            Eonnie, pengganti Rijin Oppa tampan sekali lho!” seru Lenny heboh pada Effie.
            “Benarkah?” tanya Effie acuh tak acuh.
            “Iya, Eonnie! Tampaaann sekali!” Ann J yang menjawab, tak kalah heboh. “Hanya sekali lihat saja, kuyakin, Eonnie bisa jatuh cinta padanya!”
            Effie tertawa kecil menanggapi kalimat Ann J yang hiperbola. Sementara Chemi dan Redee saling pandang, lalu menggeleng-geleng kepala.
            “Kalian norak banget! Kayak tidak pernah lihat namja4 tampan saja,” omel Chemi pada Ann J dan Lenny.
            “Biar saja! Toh Chemi Eonnie juga memuji ketampanan namja itu tadi,” balas Lenny tak mau kalah.
            “Sudah, sudah… “ lerai Effie sebelum Chemi sempat membalas Lenny. “Terus, mana pengganti Rijin Oppa?”
            “Izin keluar. Tidak bilang mau kemana,” jawab Ann J.
            Bertepatan selesainya Ann J menjawab, pintu ruangan itu berderit terbuka. Tampak seorang lelaki yang hendak masuk.
            Effie tersentak kaget menyadari siapa lelaki itu. Dan tampaknya lelaki itu juga cukup kaget dengan keberadaan Effie di sana. Agak lama keduanya bersitatap dalam diam.
            Oppa, Effie Eonnie sudah datang!” seru Lenny sambil memegang lengan Effie.
            “Iya, Oppa. Kita mulai saja latihannya!” pinta Redee.
            Si lelaki tersenyum pada lima gadis di hadapannya itu. Ditutup pintu dengan pelan, lalu kembali menatap mereka. “Oke, kalian lakukan pemanasan sendiri-sendiri dulu selama lima belas menit!” katanya yang langsung diiyakan para gadis. Lelaki itu kembali menatap Effie. “Kau istirahat saja dulu. Bila istirahatnya kau rasa cukup, segera lakukan pemanasan ringan,” katanya pada Effie.
            Chemi, Redee, Ann J, dan Lenny spontan menatap Effie dengan dahi berkerut bingung. Sementara yang ditatap menundukkan wajahnya, lalu mengangguk kikuk untuk menjawab perintah pelatih barunya.
            Okay, girls, start it now!” seru si lelaki menyemangati.

***

            Effie menghela napas berat sambil memasukkan handuk kecilnya ke dalam tas. Eonnie dan dongsaeng-dongsaeng5 yang menyebalkan! batinnya kesal. Entah apa yang mereka pikirkan sehingga tega meninggalkanku bersama pengganti Rijin Oppa ini.
            “Sudah siap pulang?” tanya si lelaki, mengejutkan Effie.
            Effie mengangguk kikuk, lalu keduanya keluar ruangan. “Oppa tidak keberatan kalau kita berjalan kaki? Apartment kami tidak terlalu jauh dari sini kok,” tanyanya ketika mereka sudah keluar dari kantor NAP Entertainment.
            “Aku tidak keberatan,” jawab si lelaki ringan. “Ada baiknya teman-temanmu memintaku untuk menemanimu pulang. Sudah jam delapan malam,” katanya setelah melirik Rolex-nya. “Bagaimana kalau kita mampir untuk makan malam? Kau tidak lapar?”
            “Makan di apartment kami saja,” Effie menolak secara tidak langsung. “Kita makan bersama dengan eonnie dan dongsaeng-dongsaeng-ku, bagaimana?”
            “Baiklah, kalau itu maumu.” Si lelaki terdiam, menunggu kalau-kalau Effie akan berbicara lagi. “Oya, namaku Kim Kyoung Jae,” si lelaki mengulurkan tangannya pada Effie setelah Effie tak kunjung berbicara lagi. “Kau bisa memanggilku Illai. Ditulis: E-L-I.”
            “Lee Ji Hoon,” kata Effie sambil menjabat tangan Eli. “Dan aku sedang membiasakan Effie sebagai namaku untuk debut nanti.” Dilepas tangannya dari genggaman Eli. “Logat Oppa agak aneh. Oppa bukan asli korea?” tanyanya penasaran.
            Eli mengangguk kecil sambil tersenyum. “Bisa dibilang begitu. Aku lahir di Los Angeles dan cukup lama menetap di sana. Aku baru balik ke Korea beberapa tahun yang lalu,” jawabnya. “Kakimu masih sakit karena bertabrakan denganku tadi?”
            Effie menggeleng juga sambil tersenyum. “I’m alright! Feel much better, Oppa,” jawabnya. “Kau tidak terluka?”
            “Mana bisa kau melukaiku! Tubuhmu lebih kecil daripada tubuhku. Kemungkinan kau yang terluka lebih besar daripada aku yang terluka,” jawabnya sambil tersenyum. “Tidak usah kau mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Hanya nyeri sedikit saat jatuh tadi, tapi sekarang sudah hilang.”
            Senyum Effie makin lebar mendengar kata-kata Eli yang terdengar sangat bersahabat. Entah kenapa dia tidak kesal lagi karena ditinggal teman-temannya.

***

            “Langit malam ini mendung ya! Kosong. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan,” kata Eli ambil menatap langit dari balkon dorm Effie dan kawan-kawan usai makan malam bersama. “Kau senang melihat langit pada malam hari, Hoon?”
            “Eh? Kadang-kadang,” jawab Effie tergagap. Rupanya gadis itu dari tadi melamun. Kemana kalian?! Kenapa belum pulang?! batinnya kesal setelah berkali-kali melirik Gucci-nya. Dikiranya empat kawannya itu pulang duluan untuk membuat makan malam. Nyatanya, saat Effie dan Eli sampai, mereka berdua tidak menemukan seorang pun di sana. Jadilah, Effie yang membuat makan malam untuk mereka berdua.
            “Tenang saja. aku akan menemanimu sampai mereka pulang,” kata Eli tiba-tiba seakan-akan tahu apa yang sedang dipikirkan Effie.
            Effie tersenyum kecil. “Tidak masalah bagiku jika sendirian di sini. Lagipula, kalau Oppa tidak segera pulang, Oppa akan kemalaman.”
            “Tidak masalah bagiku jika kemalaman. Aku mengkhawatirkanmu kalau kau sendirian. Tapi, kalau kau menyuruhku pulang, aku akan pulang.”
            Effie terdiam. Yah… apa salahnya meminta Eli Oppa menemaniku sebentar? Toh kelihatannya Oppa ini orang baik. “Jadi… sebelum ini, Oppa pernah melatih dance siapa saja?” tanyanya membuat topik untuk percakapan mereka.
            “Sebenarnya baru kali ini aku melatih dance,” aku Eli sambil tersenyum malu.
            “Benarkah?” tanya Effie tidak percaya yang diangguki mantap oleh Eli. “ Tapi, Oppa profesional sekali saat melatih kami.”
            “Tentu harus profesional!” seru Eli. “Pekerjaanku yang sebenarnya sedang libur seminggu. Kebetulan Rijin itu temanku. Jadilah, aku yang menggantikannya untuk melatih kalian dance.”
            “Pekerjaan Oppa yang sebenarnya apa?”
            “Sampai saatnya tiba kau pun pasti tahu,” jawab Eli penuh rahasia.
            Tiba-tiba, terdengar pintu dorm berderit terbuka. Tampaklah Chemi, Redee, Ann J, dan Lenny memasuki dorm dengan bungkus plastik di tangan masing-masing.
            “Akhirnya mereka pulang juga!” kata Effie, lalu berjalan meninggalkan Eli yang masih berdiri di balkon. “Kalian dari mana sih?!” tanyanya dengan nada merajuk yang hanya dibalas dengan cengiran oleh empat kawan-kawannya itu.

***

            Keesokkan harinya, Effie datang tepat waktu ke kantor agensinya untuk mengikuti latihan. Bahkan dia masih mengenakan baju seragamnya karena dia tidak pulang ke dorm dulu untuk berganti baju. Masih tersisa dua puluh lima menit lagi dari jadwal latihan yang sudah dijadwalkan dan baru dia saja yang datang. Seharusnya aku jangan terburu-buru, tapi kalau aku pulang dulu, aku akan terlambat lagi, batin Effie.
            Seseorang membuka pintu ruangan itu. Tampak Eli kaget menyadari keberadaan Effie. “Kau belum sempat pulang?” tanyanya sambil meletakkan tasnya di atas meja.
            Effie mengangguk. “Aku takut terlambat lagi seperti kemarin.”
            “Dan hari ini kau sangat tepat waktu, Hoon,” kata Eli sambil tersenyum. “Sudah berapa lama kau berada di sini?”
            Effie melirik Gucci-nya. “Sepuluh menit, kurasa.”
            “Sudah makan siang?” tanyanya lagi yang digelengi Effie. Eli membuka tasnya dan mengambil sebuah kantung kertas yang diserahkannya pada Effie. “Makanlah! Itu sandwich buatanku. Sebaiknya isi perutmu dulu sebelum latihan. Ini akan menguras tenaga.”
            Ragu-ragu, Effie menerima kantung kertas itu. Ditatap Eli dengan senyumnya yang tersipu-sipu. “Terima kasih, Oppa…”

***

            “Jadi, apa hubunganmu dengan Kyoungjae Oppa?” tanya Redee tiba-tiba pada Effie saat keduanya sedang berada di balkon dorm mereka malam itu.
            “Siapa Kyoungjae Oppa?” Effie balik tanya dengan wajah bingung.
            “Pangeranmu, tentu saja! Bagaimana kau bisa melupakan namanya?”
            “Maksudnya Eli Oppa, Effie,” sahut Chemi yang tiba-tiba sudah bergabung dengan mereka di balkon. “Aku juga penasaran dengan hubungan kalian berdua. Kalian berpacaran?” tanyanya sambil menatap Effie lekat-lekat.
            Yang ditatap malah tidak membalas tatapan Chemi. Effie terdiam dengan kedua pipinya yang perlahan bersemu merah. “Mana mungkin. Tidak seperti yang kalian duga,” jawabnya dengan suara pelan.
            “Suaramu tidak meyakinkan.”
            “Chemi Eonnie,” akhirnya Effie menghadap Chemi dengan wajah merajuk. “Benar tidak ada apa-apa antara aku dan Eli Oppa. Kami hanya berteman. Seperti kalian dengan Oppa. Hanya itu.”
            Redee dan Chemi saling pandang. Tampaknya mereka masih belum percaya.
            “Memangnya kenapa kalian menanyakan itu?” tanya Effie. Tiba-tiba wajahnya tersenyum jahil. “Jangan-jangan kalian menyukainya ya?” tebaknya.
            “Yang benar saja!” seru Redee cepat. “Dia memang tampan, tapi aku tidak tertarik padanya. Sama sekali tidak,” jawabnya.
            “Ya. Aku juga hanya menganggapnya sebagai pelatih saja. tidak lebih,” jawab Chemi. Dia terdiam sejenak, seperti ingin mengutarakan sesuatu. “Effie, kau ingat kan kalau besok hari terakhir kita bertemu dengan Eli Oppa?”
            Deg!
            Jantung Effie terasa berhenti berdetak mendengarnya. Gadis itu sama sekali tidak ingat tentang hal itu. Bahkan dia lupa kalau Eli hanya menggantikan Rijin selama tiga hari saja. Dan besok hari ketiga. Hari terakhir mereka bertemu Eli. Tiba-tiba, Effie terasa sesak. Gadis itu terdiam sambil menatap langit dengan tatapan kosong.
            “Kurasa, kau melupakan hal itu,” kata Redee melihat reaksi kurang mengenakkan dari Effie. Dielus punggung temannya itu penuh sayang. “Kita pasti akan merindukannya,” katanya sambil menatap langit malam yang sepi.
            Chemi memeluk bahu Effie dari belakang. “Maafkan aku, Effie, karena telah mengingatkanmu tentang hal ini,” katanya penuh penyesalan. “Aku takut besok kau akan lebih syok lagi jika aku tidak mengingatkanmu sekarang. Melihat kedekatan kalian berdua, kau pasti akan merasa sangat kehilangan saat dia pergi.”
            Effie memegang tangan mereka dan menggenggamnya. Tangannya terasa lemah dan dingin. Namun, wajahnya tersenyum. Mencoba membuat kedua teman yang dicintainya itu tidak terlalu mengkhawatirkannya. “Aku baik-baik saja. Percayalah! Dan akan terus baik-baik saja,” katanya dengan suara pelan namun mantap. Tapi, apa iya?

***

            Effie melirik Gucci-nya. Jam tujuh malam. Sudah berjam-jam dia menghabiskan waktu di Daejoon Park, taman kota yang terkenal itu. Dia sengaja bolos dari jadwal latihannya. Jungwoon, manager kelima gadis itu, berkali-kali meneleponnya. Menanyakan keberadaan gadis itu. Namun, Effie tidak menjawabnya. Dia hanya meminta izin pada manager-nya itu untuk tidak latihan hari ini. Dengan berat hati, Jungwoon mengabulkannya dengan syarat Effie tidak mendapatkan free day-nya.
            Effie menghela napas berat. Rasanya ingin pulang. Tapi, dia belum siap untuk ditanya-tanya eonnie dan dongsaeng-dongsaeng-nya atas keabsenannya hari ini. Apa mereka sudah selesai latihannya? Pikirannya menerka-nerka. Tiba-tiba saja wajah Eli melintas di pikirannya. Effie, kenapa kau masih saja memikirkan lelaki itu?! keluh batinnya.
            Dengan langkah berat, Effie pergi dari bangku taman. Tanpa tahu tempat mana yang dituju, kakinya terus melangkah dengan wajah menunduk. Sampai akhirnya, seseorang berdiri di hadapannya, menghalangi jalannya.
            “Kenapa kau bolos latihan di hari terakhirku melatih kalian?” tanya orang itu.
            Tanpa mengangkat wajahnya, Effie sudah bisa menebak siapa orang itu. Orang yang hendak dilupakannya saat ini. “Karena aku ingin,” jawabnya dengan kepala yang masih menunduk.
            “Tatap wajahku saat kau menjawabku!” tegas orang itu membuat Effie bergidik.
            Effie mengepalkan tangannya. Menguatkan dirinya yang belum siap untuk bertemu orang itu saat ini. Akhirnya, Effie mengangkat wajahnya dan menatap orang itu dengan wajah datar yang terlihat muram. “Karena aku ingin, Eli Oppa…” ulangnya, lantas segera pergi meninggalkan Eli.
            Dengan cekatan, Eli berhasil mencegah kepergian Effie dengan menarik tangan gadis itu. Digenggam sekuat tenaga hingga Effie meringis kesakitan.
            Oppa, sakit…” adu Effie sambil mencoba melepaskan tangannya.
            “Tidak akan kulepas sebelum kau bisa bersikap baik padaku!” ancam Eli tanpa mengendurkan sedikit pun genggamannya.
            “Baiklah, baiklah… longgarkan genggamanmu dulu dan aku akan mematuhi apa yang kau pinta!” janji gadis itu putus asa. Dan saat dirasakan genggaman Eli sedikit mengendur, Effie menatapnya masih dengan wajah muram. “Sebenarnya apa yang Oppa inginkan? Menemuiku seperti saat ini.”
            Eli terdiam mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir Effie. Matanya terus menatap Effie tajam. Setelah menghela napas, dia berkata,”Bisakah kita bicarakan sambil makan malam? Aku lapar sekali…”

***

            Jam delapan malam. Effie dan Eli sedang menyantap makan malam mereka di kedai pinggir jalan yang menjual aneka mie dan sup. Keduanya diam sejak saat mereka mulai makan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
            “Kau tidak tahu bagaimana perasaanku tadi saat kau tidak ikut latihan,” kata Eli membuka pembicaraan sambil terus memakan mie-nya.
            Effie memperhatikan laki-laki yang duduk di hadapannya itu. Menunggunya melanjutkan kalimatnya. Namun, sepertinya Eli sibuk sekali menghabiskan makan malamnya tanpa tahu dirinya sedang diperhatikan Effie. “Jadi, bagaimana?” hanya itu yang keluar dari bibir Effie. Gadis itu menyendok supnya pelan ke mulut.
            Eli menghentikan makannya dengan gerakan tiba-tiba. Ditatap Effie yang sedang meminum sup panasnya penuh kehati-hatian. Bibirnya tersenyum tanpa sadar memperhatikan gadis di hadapannya itu. “Tentu saja aku sangat sedih,” akunya, mengejutkan Effie. “Kau tahu, ini hari terakhirku bertemu kalian. Dan mendapati ketidakhadiranmu di ruang latihan siang tadi, aku sangat marah, kesal, juga sedih. Aku sangat berharap bisa bertemumu, tapi kau tidak datang. Tapi, yah… lupakan saja! Kau tidak akan pernah tahu bagaimana perasaanku sebenarnya saat itu.” Eli kembali melanjutkan makannya.
            Kini, Effie ganti menatap Eli. Dia tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya tadi. Benarkah? Benarkah Eli merasakannya? Namun, dia tidak berani menanyakan itu padanya. Lelaki itu tampak asik sekali menghabiskan mie-nya yang masih sisa separuh itu. Dia pun kembali menghabiskan sup panasnya.
            Dan mereka menghabiskan makan malam dalam diam.

***

            “Kita sudah sampai!” seru Eli saat keduanya sudah berada di gerbang masuk apartment Effie tinggal.
            “Yah… kita sudah sampai,” ulang Effie dengan suara pelan dan tidak bersemangat. “Terima kasih, Oppa, sudah mengantarkanku pulang dan atas makan malamnya,” kata Effie sambil membungkukkan badannya pada Eli.
            “Dan terima kasih mau menemaniku makan malam, Hoon,” kata Eli juga sambil membungkukkan badannya.
            Keduanya terdiam sambil saling tatap satu sama lain. Seakan mereka tidak ingin berpisah.
            Akhirnya, Eli berkata,”Sungguh, aku sedih karena hari ini hari terakhir kita bertemu. Besok aku sudah kembali sibuk dengan pekerjaanku. Dan sulit rasanya untuk bisa menemuimu seperti ini. Makan malam seperti ini…”
            “Hentikan, Oppa…” potong Effie dengan suara bergetar. “Kau membuat semuanya terasa berat. Terdengar menyedihkan untukku.”
            “Maafkan aku, Hoon…”
            Effie menggelengkan kepalanya pelan. Sekuat tenaga dia berusaha tenang di hadapan lelaki itu saat ini. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Oppa. Aku baik-baik saja. Sungguh…”
            Eli menyadari bahwa Effie tidak baik-baik saja saat itu. Diraih tangan Effie dan digenggamnya erat. Dia terdiam sejenak. “Bisakah aku meminta sesuatu darimu, Hoon?”
            Effie menatap Eli dengan tatapan bingung. “Apa permintaanmu, Oppa? Menurutku tidak masalah jika itu bukan permintaan yang aneh.”
            Eli tersenyum. Setidaknya Effie sudah tidak sesedih sebelumnya. “Bisakah kau tidak melupakanku? Dan sebagai gantinya, suatu hari nanti aku akan meluangkan waktuku seharian penuh untuk menghabiskan waktu denganmu. Bagaimana?”
            Tiba-tiba saja Effie tertawa.
            “Ada yang salah?” tanya Eli, merasa aneh dengan respon gadis itu.
            “Tidak,” jawab Effie singkat. Ditatap lelaki itu dengan senyum lebar. “Tanpa perlu kau minta, aku tidak akan melupakanmu, Oppa. Meski aku ingin, tapi aku tidak bisa,” akunya. “Dan aku tidak perlu janjimu. Aku tahu kau sangat sibuk dengan pekerjaanmu yang tidak kuketahui itu. Aku takut kau melupakannya. Lagipula, aku tidak suka mengharapkan yang tidak pasti.”
            “Tapi…”
            “Tidak ada tapi-tapian, Oppa!” tegas Effie. “Kuharap kau bisa memahami kemauanku itu. Tidak apa-apa kan, Oppa?”
            Eli menatap tangannya yang masih menggenggam tangan Effie. Dia tidak mengerti sepenuhnya pikiran gadis itu. “Baiklah. Jika kau merasa itu baik bagi kita…”
            “Kita?”
            Wajah Eli langsung memerah. Dia menjadi salah tingkah dan melepaskan genggaman tangannya begitu saja. Sebisa mungkin dia berusaha tenang, tapi gagal dilakukannya. Tadi dia terlalu terbawa suasana hingga ucapan itu pun keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Dan dia tidak bisa berpura-pura tidak pernah mengatakan itu sebelumnya. Dia menatap Effie sambil tersenyum kikuk. “Sudah malam. Sebaiknya kau cepat istirahat,” katanya, mengalihkan topik pembicaraan.
            Effie hanya bisa tersenyum kecil melihat sikap lelaki yang baru dikenalnya selama tiga hari ini. Eli tampaknya tidak mau menjawab pertanyaannya tadi, dan dia tidak akan memaksanya. “Ya. Aku akan segera tidur. Oppa, cepat pulang saja! Biar tidak kemalaman di jalan.”
            “Tahulah,” jawab Eli. “Sampai jumpa lagi, Hoon…”
***
-THE END-
03.03.2012

Note:
this is my first fanfiction. if u like it, please comment. if u want to re-post it, please have my permission first and take it with full credit. this is mine!!! enjoy reading!! ^__^