Kamis, 07 Juni 2012

[FANFICTION] We Met because of Fate (Part 1 - start)


Main Cast:
- Dongho 'U-KISS'
- Ann J 'C-REAL'

***
 
            Ann J menatap keadaan di sekelilingnya. Sore hari seperti ini Daejoon Park ramai dikunjungi. Sebagian besar yang berada di sana adalah para pekerja yang melepaskan penat mereka sepulang dari tempat kerja mereka. Ibu-ibu juga banyak. Ada yang bergerombol sambil bergosip, ada juga yang menemani anaknya bermain.
            Tiba-tiba saja Ann J menghela napas panjang, lalu menatap langit yang sedang cerah. Saat-saat seperti inilah yang diinginkannya. Tenang. Menyendiri. Terbebas dari jadwal latihan dance yang ketat. Terbebas dari pengawasan manager yang sangat berlebihan mengatur jadwal-jadwalnya. Seharusnya ini menjadi sangat menyenangkan. Tapi, kenapa aku merasa kesepian? batinnya.
            Ann J mencari nomor Chemi di kontak Samsung-nya dan segera menekan tombol call setelah menemukannya. Terdengar ringback tone Baby Baby yang dinyanyikan Girls’ Generation sebagai ganti nada tunggu. Tak lama menunggu, telepon tersambung. “Ada apa?” tanya Chemi singkat.
            “Temani aku, Eonnie1…” pinta Ann J manja dengan suara memelas. “Aku di taman sendirian. Membosankan!” adunya seperti seorang anak yang sedang mengadu pada ibunya.
            “Lho? Biasanya juga sendiri kan? Dan kau tidak pernah memintaku atau yang lainnya untuk ikut serta bersamamu saat free day-mu. Kenapa baru sekarang kau merasa bosan?”
            Ann J menggeleng pelan seakan-akan Chemi ada di hadapannya. “Tidak tahu. Hari ini terasa beda, Eonnie,” jawabnya. “Bisakah Eonnie menemaniku? Ajak Redee Eonnie, Effie Eonnie, dan Lenny juga.”
            Terdengar Chemi meringis di seberang sana. “Maaf, Ann J… kami berempat dan Jungwoon Oppa2 sedang dalam perjalanan menuju Han Restaurant. Kau juga tahu kan salah satu jadwal kita yang satu itu?” jawab Chemi sambil menyebutkan nama manager mereka.
            “Ya. Aku sendiri yang menolak ikut bersama kalian.”
            “Tapi, kau bisa menyusul kami kalau kau benar-benar membutuhkan kami. Acara makan-makannya mungkin agak lama karena sekalian membicarakan debut kita dengan Pak Baekjung, direktur agensi kita.”
            Ann J terdiam, lalu dia kembali menggeleng. “Aku makan malam di dorm saja,” putusnya kemudian dengan suara yang dibuat terdengar senormal mungkin.
            “Tidak apa-apa?” tanya Chemi dengan nada cemas dan ragu.
            “Ya. Tenang saja, Eonnie! Aku akan baik-baik saja,” Ann J meyakinkan.
            “Baiklah. Jaga dirimu, Ann J! Maaf ya tidak bisa menemanimu saat ini…”
            “Tidak apa-apa, Eonnie! Salam untuk yang lain…”
            Klik!
            Telepon diputuskan oleh Ann J dan dia kembali menatap langit sore yang mulai berganti warna.

***

            Dongho menendang kardus minuman yang tergeletak begitu saja di jalanan. Kesal sekali hatinya saat ini. Para hyung3-nya sedang beraktifitas dengan job masing-masing, sedangkan hari ini adalah free day-nya. Seharusnya hari ini dia senang dengan bebasnya dia dari jadwal kerjanya yang padat. Tapi, aku tidak suka melewati free day-ku sendirian! batinnya.
            Tanpa disadari, dia sudah berada di gerbang masuk Daejoon Park. Hari sudah sangat sore dan taman itu tampak sepi karena ditinggali pengunjungnya yang pulang ke rumah masing-masing.
            Matanya tidak sengaja terhenti pada seorang gadis yang tampaknya sedang asik menatap langit sore dari bangku taman, membelakanginya. Perlahan, Dongho berjalan mendekati gadis itu tanpa sepenuhnya paham mengapa dia perlu ke sana.
            Gadis itu menoleh sebentar ke arahnya saat dia sudah duduk di sampingnya, lalu kembali menatap langit. “Mencari ketenangan juga? Atau sedang ingin menyendiri?” tanyanya tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya.
            Dongho sedikit terlonjak mendengar suara gadis itu yang tiba-tiba bertanya. “Berbicara denganku?” tanyanya sekenanya.
            Si gadis tertawa kecil. Kali ini dia menatap Dongho. Senyum mengembang dari bibirnya. “Tentu saja! Hanya tinggal kita berdua yang berada di sini,” jawabnya. “Jadi, jawabanmu?” kejarnya begitu ingat pertanyaannya belum terjawab.
            “Hanya kebetulan lewat,” jawabnya ringan. “Kau?”
            “Bisa dibilang ini ritual setiap sore setiap aku dapat free day,” jawabnya, lalu melirik Gucci yang melingkar di tangannya. “Saatnya makan malam kurasa dan aku harus pergi. Selamat tinggal!”
            “Tunggu!” cegah Dongho begitu si gadis berdiri dan hendak meninggalkannya sendiri. “Bagaimana…” Dia ragu akan keputusannya ini. Tapi, dia akan mencobanya. “Bagaimana kalau kita makan malam bersama?”

***

            Setelah menolak berkali-kali ajakan Dongho untuk makan malam bersama dan diakhiri dengan persetujuan gadis itu, mereka berdua kini sedang makan malam di kedai pinggir jalan yang letaknya tidak terlalu jauh dari Daejoon Park.
            “Kenapa kau mudah sekali mengajakku makan malam bersama?” tanya si gadis penasaran di sela-sela makan. “Kita kan belum pernah bertemu sebelumnya. Kenal juga tidak! Jangan-jangan… kau ini penggoda gadis-gadis yang sedang sendirian ya?!”
            “Uhuk! Uhuk!” Dongho tersedak mendengar tuduhan yang terlontar begitu saja dari si gadis. Penggoda gadis-gadis? Yang benar saja!
            Dengan panik, si gadis menyerahkan segelas air padanya. “Ayo, minum dulu! Pelan-pelan saja…” pintanya sambil terus memperhatikan Dongho dengan cemas. “Maafkan aku! Seharusnya tidak kukatakan tadi kalau tahu kau akan tersedak seperti itu,” akunya merasa bersalah.
            “Tidak apa-apa! Aku baik-baik saja,” jawab Dongho ringan setelah batuknya hilang. “Seorang gadis memang harus punya rasa curiga pada laki-laki yang mengajaknya pergi. Apalagi dengan orang yang tidak dikenal,” lanjutnya. “Tapi, aku bukan penggoda gadis-gadis!”
            “Maaf… lalu, kenapa kau mengajakku makan bersama?”
            Dongho menatap gadis itu sejenak, lalu tersenyum tipis. “Sebenarnya aku juga bingung kenapa bisa seberani ini mengajak orang yang tidak kukenal makan bersama,” jawabnya.
            “Kurasa bukan itu jawabannya.”
            “Kalau begitu, jadi jawabannya apa?”
            “Entahlah. Hanya kau yang tahu bukan? Aku bisa menebak itu dari wajahmu. Tidak bisakah kau menceritakannya? Menceritakan kenapa kau mengajakku makan malam bersama.”
            Dongho menghela napas berat. Kesal juga karena gadis itu terus mendesaknya. Kenapa juga dia bisa tahu kalau aku menyembunyikan jawaban sesungguhnya darinya? Ditatap lagi gadis itu. Kali ini wajahnya tampak serius. Bahkan tidak ada lagi senyumnya yang biasa tersungging. “Kenapa? Kau ingin tahu kenapa?”
            Gadis itu sedikit tersentak menyadari perubahan suara lelaki di hadapannya itu. Apa dia marah hanya karena aku menanyakan hal yang menurutku sah-sah saja untuk ditanyakan ini? Dengan kikuk, si gadis mengangguk.
            “Kenapa juga kau masih harus mempertanyakannya!” seru Dongho tiba-tiba. Suaranya setingkat lebih keras dari sebelumnya. Dan untuk kedua kalinya gadis itu kembali tersentak. “Kau tidak lihat bahwa tidak ada siapapun di kiri-kananku saat menghampirimu di taman tadi? Dan kau menanyakan kenapa aku mau mengajakmu makan malam bersama. Tidak bisakah kau mengerti bahwa hari ini aku sedang sendirian! Dan aku butuh teman…”
            Wajah gadis itu seketika pucat pasi dan tertunduk mendapati sikap Dongho yang tiba-tiba berubah mengerikan baginya.
            Sebenarnya Dongho tidak bermaksud memuntahkan kekesalannya pada kesendirian di free day-nya ke gadis itu. Makanya, setelah menyadari kekeliruannya, dia pun merasa bersalah. “Aku tidak marah atau kesal padamu. Aku hanya marah dan kesal dengan apa yang kurasakan pada hari ini. Dan tanpa kusadari aku sudah terlalu emosi saat menjawab pertanyaanmu tadi. Kuharap, kau jangan salah paham dan jangan membenciku! Sungguh, maafkan aku…”akunya dengan suara yang terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
            Perlahan, wajah gadis itu terangkat kembali. Ditatapnya Dongho sambil tersenyum lemah. Dongho tahu bahwa gadis itu masih takut padanya. Tapi, setidaknya, gadis itu masih mau menatapnya. Bahkan sambil tersenyum. “Tenang saja! Aku baik-baik saja…” katanya pelan, masih tersenyum, sambil menyuap ramennya.
            Keduanya kembali makan dalam diam. Selera makan mereka perlahan menguap, terlihat dari saat mereka mengunyah makanan dengan amat sangat lambat.
            “Kau tahu,” si gadis memecahkan keterdiaman diantara mereka. ”Hari ini pun aku merasakan hal yang sama denganmu. Hanya saja baru kali ini aku merasakannya,” curhatnya sambil mengaduk-aduk ramen-nya. “Dan menurutku, sendirian itu tidak selamanya menyebalkan kok! Tergantung bagaimana kita menaganinya saja.”
            Dongho hanya tersenyum kecut menanggapi kata-kata si gadis itu. “Kau kan baru merasakannya hari ini saja! Kau belum tahu seberapa menyebalkannya sendirian itu sebelum kau merasakan lebih banyak waktu saat sendirian,” katanya sinis.
            “Tidak! Aku yakin dengan apa yang kuucapkan,” elak si gadis mantap dan penuh keyakinan. “Mungkin, selama ini kau sebal saat sendirian karena kau tidak pernah melakukan apapun. Kau hanya merutuk tanpa berusaha lebih.”
            “Tapi, hari ini aku sudah berusaha lebih!” bela Dongho tak mau kalah. “Aku tidak mengurung diri di dorm seperti biasanya. Hari ini aku berjalan-jalan hingga akhirnya aku bertemu dan mengajakmu makan bersama. Jadi, apa maksud kata-katamu tadi?”
            “Jadi, sepanjang kau bersamaku, apakah itu sesuatu yang membuatmu kesal?” Dongho terkesiap mendengar pertanyaan gadis itu, sementara si gadis tersenyum kecil. “Kau sudah menangani kesendirianmu, tahu!”
            Dongho masih terdiam sambil terus menatapi si gadis. “Jadi, kau ini sebenarnya siapa? Peramal?”

***

            “Namaku Dongho dan margaku Shin,” kata Dongho sambil mengulurkan tangannya pada si gadis. Keduanya kini sedang berjalan menuju apartment yang ditinggali si gadis.
            Tanpa ragu, si gadis menjabat tangan Dongho dengan erat. “Jo Yeo Woon,” kata si gadis, lalu melepaskan tangannya. “Tapi, saat aku debut nanti, panggil aku Ann J!”
            “Tidak mau!” tolak Dongho mentah-mentah. “Aku akan memanggilmu Yeowoon, Woonie, atau Nona Jo. Ann J terlalu aneh dan susah diucapkan untukku,” jelasnya yang hanya diangguki kecil Ann J sambil tersenyum kecut. “Berapa umurmu?”
            “Tahun ini aku tujuh belas tahun.”
            “Wah… kalau begitu, panggil aku Dongho Oppa!” perintah Dongho penuh semangat.
            Ann J mengerutkan keningnya. Bingung dengan maksud perintah lelaki yang berjalan di sampingnya itu. “Kenapa aku harus memanggilmu dengan sebutan Oppa?”
            “Tentu saja karena aku lebih tua setahun darimu, Woonie!” jawab Dongho gemas. “Ayo, panggil aku Dongho Oppa!”
            “Kenapa kau ingin sekali kupanggil Oppa?”
            “Karena aku tidak pernah dipanggil Oppa,” jawab Dongho asal. “Sudahlah, tinggal panggil aku Dongho Oppa saja susah sekali!”
            “Baiklah, baiklah…” Ann J mengalah. “Ternyata kau menyebalkan sekali ya kalau sedang bersemangat,  Dongho Oppa!”
            “Terima kasih, Woonie!” seru Dongho bahagia.
            Keduanya diam. Bingung apa lagi yang ingin dibicarakan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
            “Dongho Oppa…” panggil Ann J sambil menghentikan langkahsnya.
            “Ya, Woonie…” Dongho menghentikan langkahnya juga.
            “Kita sudah sampai,” kata Ann J, lalu melirik Gucci-nya. “Sudah jam sebelas. Kurasa, eonnie-eonnie-ku dan Lenny sudah pulang.” Ditatapnya Dongho sambil tersenyum. “Terima kasih, Oppa, karena telah mengantarkanku pulang,” katanya tulus sambil membungkukkan badannya pada Dongho.
            “Dan terima kasih karena telah menemani sisa hariku bersamamu, Woonie,” kata Dongho tulus, juga sambil membungkukkan badannya pada Ann J. “Aku akan ingat kata-katamu jika aku merasa sendirian lagi. Tentang menangani rasa sendirian itu. Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu, Woonie.”
            Ann J hanya tersenyum kecil mendengarnya. “Sebaiknya Oppa cepat pulang. Sudah larut malam,” sarannya.
            Dongho mengangguk sambil membalas senyum Ann J. “Fighting untuk debutmu! Dan semoga kita bisa bertemu lagi ya,” harapnya sebelum pergi.
            “Ya, semoga saja.”
            “Sampai jumpa, Woonie…”
            “Sampai jumpa, Oppa…”
***
-The End-
27.02.2012

Note:
this is my first fanfiction. if u like it, please comment. if u want to re-post it, please have my permission first and take it with full credit. this is mine!!! enjoy reading!! ^__^

3 komentar: