- Dongho 'U-KISS'
- Ann J 'C-REAL'
***
Ann J menatap keadaan di sekelilingnya. Sore hari seperti ini Daejoon Park ramai dikunjungi. Sebagian besar yang berada di sana adalah para pekerja yang melepaskan penat mereka sepulang dari tempat kerja mereka. Ibu-ibu juga banyak. Ada yang bergerombol sambil bergosip, ada juga yang menemani anaknya bermain.
Tiba-tiba saja Ann J menghela napas
panjang, lalu menatap langit yang sedang cerah. Saat-saat seperti inilah yang
diinginkannya. Tenang. Menyendiri. Terbebas dari jadwal latihan dance yang ketat. Terbebas dari
pengawasan manager yang sangat
berlebihan mengatur jadwal-jadwalnya. Seharusnya ini menjadi sangat
menyenangkan. Tapi, kenapa aku merasa kesepian? batinnya.
Ann J mencari nomor Chemi di kontak
Samsung-nya dan segera menekan tombol
call setelah menemukannya. Terdengar ringback tone Baby Baby yang dinyanyikan Girls’
Generation sebagai ganti nada tunggu. Tak lama menunggu, telepon tersambung.
“Ada apa?” tanya Chemi singkat.
“Temani aku, Eonnie1…” pinta Ann J manja dengan suara memelas. “Aku
di taman sendirian. Membosankan!” adunya seperti seorang anak yang sedang
mengadu pada ibunya.
“Lho? Biasanya juga sendiri kan? Dan
kau tidak pernah memintaku atau yang lainnya untuk ikut serta bersamamu saat free day-mu. Kenapa baru sekarang kau
merasa bosan?”
Ann J menggeleng pelan seakan-akan
Chemi ada di hadapannya. “Tidak tahu. Hari ini terasa beda, Eonnie,” jawabnya. “Bisakah Eonnie menemaniku? Ajak Redee Eonnie, Effie Eonnie, dan Lenny juga.”
Terdengar Chemi meringis di seberang
sana. “Maaf, Ann J… kami berempat dan Jungwoon Oppa2 sedang dalam perjalanan menuju Han Restaurant. Kau
juga tahu kan salah satu jadwal kita yang satu itu?” jawab Chemi sambil
menyebutkan nama manager mereka.
“Ya. Aku sendiri yang menolak ikut
bersama kalian.”
“Tapi, kau bisa menyusul kami kalau
kau benar-benar membutuhkan kami. Acara makan-makannya mungkin agak lama karena
sekalian membicarakan debut kita dengan Pak Baekjung, direktur agensi kita.”
Ann J terdiam, lalu dia kembali
menggeleng. “Aku makan malam di dorm
saja,” putusnya kemudian dengan suara yang dibuat terdengar senormal mungkin.
“Tidak apa-apa?” tanya Chemi dengan
nada cemas dan ragu.
“Ya. Tenang saja, Eonnie! Aku akan baik-baik saja,” Ann J
meyakinkan.
“Baiklah. Jaga dirimu, Ann J! Maaf
ya tidak bisa menemanimu saat ini…”
“Tidak apa-apa, Eonnie! Salam untuk yang lain…”
Klik!
Telepon diputuskan oleh Ann J dan
dia kembali menatap langit sore yang mulai berganti warna.
***
Dongho menendang kardus minuman yang
tergeletak begitu saja di jalanan. Kesal sekali hatinya saat ini. Para hyung3-nya sedang
beraktifitas dengan job
masing-masing, sedangkan hari ini adalah free
day-nya.
Seharusnya hari ini dia senang dengan bebasnya dia dari jadwal kerjanya yang
padat. Tapi, aku tidak suka melewati free
day-ku sendirian! batinnya.
Tanpa disadari, dia sudah berada di
gerbang masuk Daejoon Park. Hari sudah sangat sore dan taman itu tampak sepi
karena ditinggali pengunjungnya yang pulang ke rumah masing-masing.
Matanya tidak sengaja terhenti pada
seorang gadis yang tampaknya sedang asik menatap langit sore dari bangku taman,
membelakanginya. Perlahan, Dongho berjalan mendekati gadis itu tanpa sepenuhnya
paham mengapa dia perlu ke sana.
Gadis itu menoleh sebentar ke
arahnya saat dia sudah duduk di sampingnya, lalu kembali menatap langit.
“Mencari ketenangan juga? Atau sedang ingin menyendiri?” tanyanya tiba-tiba
tanpa mengalihkan pandangannya.
Dongho sedikit terlonjak mendengar
suara gadis itu yang tiba-tiba bertanya. “Berbicara denganku?” tanyanya
sekenanya.
Si gadis tertawa kecil. Kali ini dia
menatap Dongho. Senyum mengembang dari bibirnya. “Tentu saja! Hanya tinggal
kita berdua yang berada di sini,” jawabnya. “Jadi, jawabanmu?” kejarnya begitu
ingat pertanyaannya belum terjawab.
“Hanya kebetulan lewat,” jawabnya ringan.
“Kau?”
“Bisa dibilang ini ritual setiap
sore setiap aku dapat free day,”
jawabnya, lalu melirik Gucci yang melingkar di tangannya. “Saatnya makan malam
kurasa dan aku harus pergi. Selamat tinggal!”
“Tunggu!” cegah Dongho begitu si
gadis berdiri dan hendak meninggalkannya sendiri. “Bagaimana…” Dia ragu akan
keputusannya ini. Tapi, dia akan mencobanya. “Bagaimana kalau kita makan malam
bersama?”
***
Setelah menolak berkali-kali ajakan
Dongho untuk makan malam bersama dan diakhiri dengan persetujuan gadis itu,
mereka berdua kini sedang makan malam di kedai pinggir jalan yang letaknya
tidak terlalu jauh dari Daejoon Park.
“Kenapa kau mudah sekali mengajakku
makan malam bersama?” tanya si gadis penasaran di sela-sela makan. “Kita kan
belum pernah bertemu sebelumnya. Kenal juga tidak! Jangan-jangan… kau ini
penggoda gadis-gadis yang sedang sendirian ya?!”
“Uhuk! Uhuk!” Dongho tersedak
mendengar tuduhan yang terlontar begitu saja dari si gadis. Penggoda
gadis-gadis? Yang benar saja!
Dengan panik, si gadis menyerahkan
segelas air padanya. “Ayo, minum dulu! Pelan-pelan saja…” pintanya sambil terus
memperhatikan Dongho dengan cemas. “Maafkan aku! Seharusnya tidak kukatakan
tadi kalau tahu kau akan tersedak seperti itu,” akunya merasa bersalah.
“Tidak apa-apa! Aku baik-baik saja,”
jawab Dongho ringan setelah batuknya hilang. “Seorang gadis memang harus punya
rasa curiga pada laki-laki yang mengajaknya pergi. Apalagi dengan orang yang
tidak dikenal,” lanjutnya. “Tapi, aku bukan penggoda gadis-gadis!”
“Maaf… lalu, kenapa kau mengajakku
makan bersama?”
Dongho menatap gadis itu sejenak,
lalu tersenyum tipis. “Sebenarnya aku juga bingung kenapa bisa seberani ini
mengajak orang yang tidak kukenal makan bersama,” jawabnya.
“Kurasa bukan itu jawabannya.”
“Kalau begitu, jadi jawabannya apa?”
“Entahlah. Hanya kau yang tahu
bukan? Aku bisa menebak itu dari wajahmu. Tidak bisakah kau menceritakannya?
Menceritakan kenapa kau mengajakku makan malam bersama.”
Dongho menghela napas berat. Kesal
juga karena gadis itu terus mendesaknya. Kenapa juga dia bisa tahu kalau aku
menyembunyikan jawaban sesungguhnya darinya? Ditatap lagi gadis itu. Kali ini
wajahnya tampak serius. Bahkan tidak ada lagi senyumnya yang biasa tersungging.
“Kenapa? Kau ingin tahu kenapa?”
Gadis itu sedikit tersentak
menyadari perubahan suara lelaki di hadapannya itu. Apa dia marah hanya karena
aku menanyakan hal yang menurutku sah-sah saja untuk ditanyakan ini? Dengan
kikuk, si gadis mengangguk.
“Kenapa juga kau masih harus
mempertanyakannya!” seru Dongho tiba-tiba. Suaranya setingkat lebih keras dari
sebelumnya. Dan untuk kedua kalinya gadis itu kembali tersentak. “Kau tidak
lihat bahwa tidak ada siapapun di kiri-kananku saat menghampirimu di taman
tadi? Dan kau menanyakan kenapa aku mau mengajakmu makan malam bersama. Tidak
bisakah kau mengerti bahwa hari ini aku sedang sendirian! Dan aku butuh teman…”
Wajah gadis itu seketika pucat pasi
dan tertunduk mendapati sikap Dongho yang tiba-tiba berubah mengerikan baginya.
Sebenarnya Dongho tidak bermaksud
memuntahkan kekesalannya pada kesendirian di free day-nya ke gadis itu. Makanya, setelah menyadari
kekeliruannya, dia pun merasa bersalah. “Aku tidak marah atau kesal padamu. Aku
hanya marah dan kesal dengan apa yang kurasakan pada hari ini. Dan tanpa kusadari
aku sudah terlalu emosi saat menjawab pertanyaanmu tadi. Kuharap, kau jangan
salah paham dan jangan membenciku! Sungguh, maafkan aku…”akunya dengan suara
yang terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
Perlahan, wajah gadis itu terangkat
kembali. Ditatapnya Dongho sambil tersenyum lemah. Dongho tahu bahwa gadis itu
masih takut padanya. Tapi, setidaknya, gadis itu masih mau menatapnya. Bahkan
sambil tersenyum. “Tenang saja! Aku baik-baik saja…” katanya pelan, masih
tersenyum, sambil menyuap ramennya.
Keduanya kembali makan dalam diam.
Selera makan mereka perlahan menguap, terlihat dari saat mereka mengunyah
makanan dengan amat sangat lambat.
“Kau tahu,” si gadis memecahkan
keterdiaman diantara mereka. ”Hari ini pun aku merasakan hal yang sama denganmu.
Hanya saja baru kali ini aku merasakannya,” curhatnya sambil mengaduk-aduk ramen-nya. “Dan menurutku, sendirian itu
tidak selamanya menyebalkan kok! Tergantung bagaimana kita menaganinya saja.”
Dongho hanya tersenyum kecut
menanggapi kata-kata si gadis itu. “Kau kan baru merasakannya hari ini saja!
Kau belum tahu seberapa menyebalkannya sendirian itu sebelum kau merasakan
lebih banyak waktu saat sendirian,” katanya sinis.
“Tidak! Aku yakin dengan apa yang
kuucapkan,” elak si gadis mantap dan penuh keyakinan. “Mungkin, selama ini kau
sebal saat sendirian karena kau tidak pernah melakukan apapun. Kau hanya
merutuk tanpa berusaha lebih.”
“Tapi, hari ini aku sudah berusaha
lebih!” bela Dongho tak mau kalah. “Aku tidak mengurung diri di dorm seperti biasanya. Hari ini aku
berjalan-jalan hingga akhirnya aku bertemu dan mengajakmu makan bersama. Jadi,
apa maksud kata-katamu tadi?”
“Jadi, sepanjang kau bersamaku,
apakah itu sesuatu yang membuatmu kesal?” Dongho terkesiap mendengar pertanyaan
gadis itu, sementara si gadis tersenyum kecil. “Kau sudah menangani
kesendirianmu, tahu!”
Dongho masih terdiam sambil terus
menatapi si gadis. “Jadi, kau ini sebenarnya siapa? Peramal?”
***
“Namaku Dongho dan margaku Shin,”
kata Dongho sambil mengulurkan tangannya pada si gadis. Keduanya kini sedang
berjalan menuju apartment yang
ditinggali si gadis.
Tanpa ragu, si gadis menjabat tangan
Dongho dengan erat. “Jo Yeo Woon,” kata si gadis, lalu melepaskan tangannya.
“Tapi, saat aku debut nanti, panggil aku Ann J!”
“Tidak mau!” tolak Dongho
mentah-mentah. “Aku akan memanggilmu Yeowoon, Woonie, atau Nona Jo. Ann J
terlalu aneh dan susah diucapkan untukku,” jelasnya yang hanya diangguki kecil
Ann J sambil tersenyum kecut. “Berapa umurmu?”
“Tahun ini aku tujuh belas tahun.”
“Wah… kalau begitu, panggil aku
Dongho Oppa!” perintah Dongho penuh
semangat.
Ann J mengerutkan keningnya. Bingung
dengan maksud perintah lelaki yang berjalan di sampingnya itu. “Kenapa aku
harus memanggilmu dengan sebutan Oppa?”
“Tentu saja karena aku lebih tua
setahun darimu, Woonie!” jawab Dongho gemas. “Ayo, panggil aku Dongho Oppa!”
“Kenapa kau ingin sekali kupanggil Oppa?”
“Karena aku tidak pernah dipanggil Oppa,” jawab Dongho asal. “Sudahlah,
tinggal panggil aku Dongho Oppa saja
susah sekali!”
“Baiklah, baiklah…” Ann J mengalah.
“Ternyata kau menyebalkan sekali ya kalau sedang bersemangat, Dongho Oppa!”
“Terima kasih, Woonie!” seru Dongho
bahagia.
Keduanya diam. Bingung apa lagi yang
ingin dibicarakan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Dongho Oppa…” panggil Ann J sambil menghentikan langkahsnya.
“Ya, Woonie…” Dongho menghentikan
langkahnya juga.
“Kita sudah sampai,” kata Ann J,
lalu melirik Gucci-nya. “Sudah jam sebelas. Kurasa, eonnie-eonnie-ku
dan Lenny sudah pulang.” Ditatapnya Dongho sambil tersenyum. “Terima kasih, Oppa, karena telah mengantarkanku
pulang,” katanya tulus sambil membungkukkan badannya pada Dongho.
“Dan terima kasih karena telah
menemani sisa hariku bersamamu, Woonie,” kata Dongho tulus, juga sambil
membungkukkan badannya pada Ann J. “Aku akan ingat kata-katamu jika aku merasa
sendirian lagi. Tentang menangani rasa sendirian itu. Aku sangat bersyukur bisa
bertemu denganmu, Woonie.”
Ann J hanya tersenyum kecil
mendengarnya. “Sebaiknya Oppa cepat
pulang. Sudah larut malam,” sarannya.
Dongho mengangguk sambil membalas
senyum Ann J. “Fighting untuk
debutmu! Dan semoga kita bisa bertemu lagi ya,” harapnya sebelum pergi.
“Ya, semoga saja.”
“Sampai jumpa, Woonie…”
“Sampai jumpa, Oppa…”
***
-The
End-
27.02.2012
Note:
this is my first fanfiction. if u like it, please comment. if u want to re-post it, please have my permission first and take it with full credit. this is mine!!! enjoy reading!! ^__^
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus(y)
BalasHapusnice :D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus